Kusematkan kata “TUA”. Bukan sekedar uzur, atau menyusut secara harfiah. Atau mulai mengalami alzheimer layaknya kaum manusia di usia renta. Bukan juga kondisi yang sudah lama hidup atau proses menunggu mati.
Ini tentang realita. Realita pola pikir yang tertepikan oleh perkembangan zaman. Perkembangan kekinian yang lebih memerdekakan penampilan dari pada pemikiran.sehingga tutur, budi, moral pun etika dan intelektualitas menjadi tua pula. Terpasung peot di kolong angkasa.
Tua adalah sebuah coretan berisi jeritan. Tanpa syair dan rima. Tapi sedikit menggambarkan tentang jeritan dengan pesan moral yang amat tua pula ”Belajar tak kenal usia”. Belajar yang terlupakan. Belajar adalah hasrat primordial manusia. Sejak awal merangkak sampai mencacah bahasa. Tak perlu kiranya menunggu Paulo Freire atau menanti sosok Wilhem Joseph von lagi di masa mendatang.
Tak bisa ditampik memang. Kontruksi masyarakat konvesional diguncang revolusi teknologi. Sindikat unsur fantasi merajai dunia di segala sisi. Bombardemen pemuasan kebutuhan menjadi romansa menenggelamkan tanggung jawab sebagai mahluk heterogen. Jika kita tidak bijak menanggapi, maka akan menjadi tema kolosal tentang gagapnya generasi.
“Alam telah memberi kontrol mutlak hanya atas satu hal, yaitu pemikiran,” kata si Napoleon Hill.
Misalnya pada buku Chu-fan-chi (1178), Chou Ju-kua menerangkan tentang dua kerajaan yang kuat dan kaya di kepulauan Asia Tenggara. yakni San-fo-ts`i (SRIWIJAYA) dan Cho-po (JAWA). Atau di masa Iskandar Muda. Raja-raja dari Belanda, Inggris dan Tiongkok menyatakan kekagumannya pada Aceh. Raja Perancis mengirimkan pedang bertahtakan emas permata dan menyematkan julukan “Le Roy Loliel” (Raja yang utama). Raja Tiongkok mengirimkan lukisan dengan tulisan kenang-kenangan buat Syiah Aceh (Singa Aceh).
Buya Hamaka (1972) Sultan Iskandar muda adalah pemimpin yang saleh dan berpegang teguh pada syariat islam. Sekilas dari sekian banyak cibiran dari masa lalu yang menggambarkan intelektualitas tinggi generasi peot yang tersohor di mata dunia. Sejarah itu mengingatkan kita untuk terus belajar. Bukan mengikat kita dalam teror diam.
Realita zaman tak bisa dihindarkan. Tapi setiap kondisi akan prematur tanpa opsi. Apakah berkutat dengan hedonis zaman dan menjadikannya patokan eksistensi, atau diam dengan bergumam heteronomi. Semua ini belum tuntas, bahkan tak boleh tuntas. Mari belajar, mari bersolusi.
#bukankecelakaansejarah
Penulis: Icas Sarilimpu
sarilimpuicas@yahoo.com