Oleh: Asrul Ashar Alimuddin (Statistisi BPS Kota Kendari)
Sejak PBB meresmikan Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional pada 17 Oktober 1992, tercatat adanya penurunan angka kemiskinan dunia yang cukup fantastis. Berdasarkan data yang dihimpun Bank Dunia, lebih dari sepertiga penduduk dunia masuk dalam kelompok miskin ekstrem saat itu. Namun, sejak tahun 2017, tersisa sekitar 640 juta jiwa penduduk miskin ekstrem dunia atau berada di bawah 10 persen dari populasi dunia. Bank Dunia, dalam upayanya mencapai target untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem pada 2030 dan mempromosikan kemakmuran bersama, menyatakan bahwa kemiskinan ekstrem tidak hanya dianggap sebagai kekurangan uang, tetapi juga sebagai kekurangan unsur-unsur dasar kesejahteraan.
Perjalanan pengentasan kemiskinan dunia masih sangat panjang. Optimisme untuk mengakhiri kemiskinan di tahun 2030 mendatang memasuki fase pesimistis. Pandemi dan konflik geopolitik yang belum usai berdampak pada persoalan yang paling mendasar, yakni krisis pangan dan membuat angka kemiskinan justru meningkat. Banyak negara telah membuat langkah besar dalam mengurangi kemiskinan moneter, tetapi masih tertinggal di bidang-bidang penting seperti infrastruktur dasar, pendidikan, dan keamanan yang nyatanya memiliki dampak kuat pada kualitas hidup masyarakat.
Presiden Republik Indonesia Jokowi menargetkan pada tahun 2024 di Indonesia tidak ada penduduk yang masuk kategori miskin ekstrem. Pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 479,1 triliun dalam RAPBN 2023 untuk membantu masyarakat miskin dan rentan memenuhi kebutuhan dasarnya. Dalam jangka panjang diharapkan upaya pemberian perlindungan sosial akan mampu memotong rantai kemiskinan. Penduduk yang termasuk miskin ekstrem adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan ekstrem. Garis kemiskinan ekstrem adalah garis kemiskinan internasional atau setara US $ 1,9 PPP per hari Konsep PPP atau Purchasing Power Parity dapat diilustrasikan jika harga satu buah apel di Amerika Serikat adalah US$ 1 sedangkan harga satu buah apel sejenis di Indonesia adalah Rp 500, maka PPP adalah US$ 0,002/Rupiah. Jika dirupiahkan pada tahun 2021 garis kemiskinan ekstrim sebesar Rp 11.941,1 per kapita per hari. Secara kasar dapat dikatakan bahwa ketika pengeluaran penduduk di bawah Rp 11.941,1 per kapita per hari maka penduduk tersebut dikatakan penduduk miskin ekstrim. Namun perlu diperhatikan bahwa angka tersebut merupakan angka rata rata. Penduduk miskin ekstrem merupakan bagian dari penduduk miskin. Pada tahun 2021 penduduk di Indonesia masuk ke dalam kelompok miskin ekstrem sebanyak 4 persen sedangkan penduduk miskin sebanyak 10,14 persen. Penduduk miskin ekstrem di Indonesia mayoritas berstatus bekerja. Mengapa demikian? Karena jika tidak bekerja maka tidak bisa makan oleh karena itu mereka tetap harus bekerja meskipun pendapatan yang diterima atau dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena kondisi alamiah dan ekonomi, kondisi struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya). Kemiskinan alamiah dan ekonomi timbul akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan sumberdaya lain sehingga peluang produksi relatif kecil dan tidak dapat berperan dalam pembangunan.
Kemiskinan struktural dan sosial disebabkan hasil pembangunan yang belum merata, tatanan kelembagaan dan kebijakan dalam pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural (budaya) disebabkan sikap atau kebiasaan hidup yang merasa kecukupan sehingga menjebak seseorang dalam kemiskinan. Penyebab timbulnya kemiskinan berasal dari dalam dan dari luar penduduk miskin. Penyebab dari dalam diantaranya rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sikap individu tersebut. Sedangkan penyebab dari luar adalah keterbatasan sumber daya alam, tatanan sosial dan kelembagaan dalam masyarakat, kebijakan pembangunan, kesempatan kerja yang terbatas dan persaingan yang menyebabkan terpinggirnya penduduk miskin.
Dalam perbaikan sistem pemasaran nasional, dimulai dengan memperbaiki penargetan berdasarkan wilayah, terutama wilayah-wilayah yang merupakan kantong kemiskinan ekstrem. Terkait dengan hal tersebut pemerintah telah mengidentifikasi 212 Kabupaten/Kota dari 25 provinsi yang merupakan kantong-kantong kemiskinan dengan cakupan 75 persen dari jumlah penduduk ekstrem secara nasional. Keterpaduan dan sinergi program serta kerjasama antar kementerian/lembaga dan juga kekuatan di luar pemerintah seperti organisasi filantropi bidang sosial kemasyarakatan, sangat diperlukan dalam membuat daya ungkit yang besar untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem.
Harapannya, dimensi-dimensi kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, infrastruktur perumahan, dan sebagainya, sudah seharusnya menjadi tolok ukur pemerintah dalam merencanakan program/kebijakan pengentasan kemiskinan ekstrem ke depan. Sejatinya keberhasilan pengentasan kemiskinan dilihat tidak hanya dari kecukupan sisi moneter saja, tetapi juga dari sisi kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang menjadi lebih baik.
Upaya menghapus kemiskinan ekstrem dapat dilakukan dengan meningkatkan human capability, tidak sekadar human capital. Setelah melakukan pemetaan dengan data yang akurat, pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan dengan menyiapkan masyarakat miskin ekstrem supaya mampu bertahan di pasar bisnis global. Keterampilan yang perlu diasah, di antaranya keterampilan berbisnis serta keterampilan berbahasa internasional.
Bukan hanya dari sisi keterampilan, human capability juga didukung dengan kesempatan yang adil untuk mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan yang layak, dan kesempatan mendapatkan margin yang adil (seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya) juga perlu ditingkatkan. Semoga harapan Pak Presiden dan kita semua untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024 dapat terwujud.
Kemiskinan akan menurun dengan sendirinya, apabila setiap penduduk dibekali pendidikan yang baik, didukung dengan berbagai layanan kesehatan yang terjangkau. Pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus terhadap bantuan-bantuan dalam bentuk uang, tetapi lebih fokus menyusun strategi dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan dalam jangka panjang. Beberapa penduduk miskin kadangkala terkendala untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak karena tidak mampu membayar uang sekolah, membeli buku pelajaran, ataupun membeli seragam sekolah.
Padahal, pendidikan adalah aset berharga yang harus dimiliki oleh setiap penduduk di Indonesia. Melalui pendidikan, setiap orang akan mampu mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik, yang secara tidak langsung akan berdampak terhadap Indonesia. Hal lain yang juga masih menjadi perhatian adalah fasilitas kesehatan. Di beberapa wilayah, terjadi ketimpangan fasilitas seperti kekurangan dokter spesialis, peralatan kesehatan yang tidak lengkap, dan sistem pembayaran yang kerap kali terjadi polemik.