SULTRALINE.ID, BUTENG – Buton Tengah (Buteng) merupakan daerah yang memiliki keindahan pemandangan pantainya. Salah satu Kabupaten di Sulawesi Tenggara ini menyimpan keberagaman budayanya. Buton Tengah merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton yang disahkan pada pertengahan tahun 2014.
Daerah Buton Tengah juga merupakan bekas wilayah Kerajaan dan Kesultanan Buton yang telah eksis sejak zaman dulu. Pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6 dan juga Sultan Buton ke-1 bernama Murhum, rakyat Gu dan Mawasangka diriwayatkan patuh dan setia kepadanya.
Namun, saat ini keindahan pantai mulai berkurang dengan munculnya tambang pasir yang berada di Kecamatan Mawasangka. Tak ayal menjadi sorotan pemuda dan mahasiswa Buteng yang melihat kampung jauh berbeda di tahun-tahun sebelumnya.
Dengan semangat itu mereka melakukan diskusi ringan mengenai arah pemerintahan buteng. Kata Sardi selaku mahasiswa Buteng mengatakan, mereka membahas beberapa poin pertama poin yang layak diangkat yakni persoalan tambang pasir yang di mana galian tambang tersebut sangat merugikan masyarakat setempat karena bekas pengaliannya mengakibatkan bencana banjir ketika air naik dikarenakan bibir pantai sudah tidak seindah pada saat dulu.
“Sangat melekat dipikiranku keindahan pantai-pantai yang ada dilingkungan kampungku, tapi sayang saat ini beranjak dewasa dan lama di kendari melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi saya sudah tidak tahu keadaan pantai itu, dengan kerinduan pada nan pantai indah itu munculah di benakku untuk pulang kekampung halaman jumpa keluarga sekalian bermain di pantai itu dan Alhamdulillah keinginan dalam benakku itu bisa teramini dengan adanya pemberitahuan dari letingku bahwa kelasku di liburkan selama satu minggu,” cerita Sardi, Kamis (21/11/2019).
Dengan hati yang gembira Sardi bisa jumpa keluarga dikampung dan yang tdak kalah penting dirinya bisa lagi bermain di pantai yang indah itu, namun di sayangkan ketika dirinya sampai di kampung dan ketemu keluarga ia langsung pamit sama ibu nya untuk bermain di pantai dan ibunya mengizinkan.
Lanjut ia, maka ia pun siap-siap untuk menempuh perjalanan yang begitu dekat dengan permukiman warga terutama rumahnya
“Lalu saya berjalan menuju pantai sambil gembira dan bahagia karena kali ini lagi aku bermain di pantai, setiba ditempat bermain waktu kecil, aku kaget dan kebingungan mencari bibir pantai yang indah itu, lalu aku bertanya dalam benakku mungkin aku salah tempat, karena tempat yang aku tuju sangat jelek dan penuh bekas galian yang dalam seakan-akan bekas galian itu dari kejahatan perusahaan, kemudian berjalan ke sisi lain untuk mencari pantai yang indah itu, tapi sayang lagi-lagi saya mendapatkan bekas galian yang lebih dalam dan menyeramkan di situ muncul dalam diriku rasa ketakutan karena melihat pantai itu semua penuh galian yang nantinya akan mengakibatkan gampangnya terjadi banjir,” bebernya.
Melihat kondisi itu, ia mulai menyadari ternyata selama tinggalkan kampung halaman begitu banyak kejanggalan, sehingga malam itu juga ia duduk bersama ketua pemuda dan mahasiswa yang sudah selesai kuliah mempertanyakan kenapa hal tersebut bisa terjadi, terlebih dampaknya merugikan orang banyak dan seakan tidak solusi untuk menangani kondisi pantai yang sudah rusak.
Setelah berkumpul, lanjut ia, mulai berdiskusi terkait hal itu untuk bagaimana mengkawal kebijakan pemda, karena kalau dibiarkan maka regenarasi yang akan datang hanya akan mendengar cerita-cerita keindahan pantai itu, tapi tak mampu merasakan bagaimana isi cerita tersebut.
“Belum selesai saya presentasi tiba-tiba mahasiswa itu berkata kami juga ingin sekali mengawal kebijakan pemda tapi sayang sistem pemerintahan Buteng tidak sama dengan daerah lain, disitu saya kaget dan bertanya, maksudnya tidak sama bagaimana sistem pemerintahan buteng,” ujarnya.
“Lanjut mahasiswa yang sudah selesai kuliah itu menjawab dengan mimik muka yang seakan-akan mimik itu mengambarkan dia ingin memberontak melihat kejadiaan dan kebijakan Pemda Buteng, kemudian mereka bercerita bahwa pernah melakukan langkah persuasif kepada pimpinan Pemda Buteng dan instansi terkait mengenai kejadian ini. Namun sampai sekarang itu tidak ada tanggapan dari pihak pemda, inilah yang menjadi kekecewaaan mereka, namun perjuangan bukan hanya sampai disitu beberapa para pemuda kemudian melakukan aksi demonstrasi dengan tuntutan yang sama dengan langkah persuasif namun lagi-lagi hal itu tidak mendapat respon dari pucuk pimpinan Pemda Buteng dan instansi terkait. Bahkan yang melakukan demonstrasi dibubarkan, sehingga semua balik rumah masing-masing,” ungkap Sardi berdasarkan pemaparan Pemuda dalam berdiskusi.
“Tapi anehnya mereka tak pernah sangka utusan dari Pemda Buteng mencari keluarga dan kedua orang tua mereka untuk dipertanyakan anak siapa yang melakukan demonstrasi dan kritikan kepada pemda sehingga jika di tahu maka keluarga atau kedua ortua mereka akan di pecat dari jabatannya jika dia tergabung dalam pemerintahan dan jika tidak maka dia tidak akan di perhatikan alias pemda seakan-akan memberi pelajaran kepada oran tua pemuda yang mengkriti, karena dinilai tidak baik mendidik anak, hal itu sudah beberapa kali terjadi, inilah yang menjadi ketakutan mereka dan tolak ukurnya ketika ingin mengkritik kebijakan pemda yang tidak pro kepada masyarakat, sehingga mahasiswa yang begitu banyak jumlahnya dari Buteng ketika pulang kampung secara otomatis terbungkam dengan sendirinya, karena kami memikirkan ketika ingin mengkritik rezim ini maka dampaknya kepada keluarga atau kedua orang tua para pemuda,” paparnya.
Ia berharap, permasalahan ini bisa menjadi perhatian serius pemerintah mengingat demi kepentingan masyarakat banyak.
“Berdasarkan dari cerita itu, saya dan bersama kawan-kawan meminta Pemda untuk tidak membungkam yang mengkritik kebijakan, karena sudah sepatutnya pemerintah di kontrol demi kepentingan masyarakat banyak,” pungkas Sardi.
Laporan : TIM